Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diyakini
telah berjasa besar terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sehingga
mendapat gelar Bapak Tionghoa Indonesia. Setidaknya Gus Dur telah
menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan
Adat Istiadat Cina yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru. Namun
demikian, keputusan tersebut dikeluhkan oleh seorang Tionghoa
sebagaimana kisah di bawah ini.
Pada tahun 2002, saya bertemu seorang Tionghoa bernama Gunawan
(bukan nama sebenarnya) di sebuah acara seminar lintas agama di
Yogyakarta. Dalam kesempatan coffee break,
ia mengatakan kepada saya bahwa keputusan Gus Dur mencabut Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina sebetulnya dilatar belakangi ketidak sukaan Gus Dur kepada
Kristen.
Mendengar hal itu, saya sangat
terkejut dan tidak percaya sebab bukankah Gus Dur selama ini banyak
membela kalangan minoritas di Indonesia tidak terkecuali Kristen?
Bukankah Gus Dur menjadi tempat mengadu orang-orang Kristen yang
kesulitan mendirikan gereja? Bukankah Gus Dur yang bisa menjelaskan
kepada umat Islam kenapa orang-orang Kristen membutuhkan gereja yang
lebih banyak dari pada orang-orang Katholik karena banyaknya sekte di
agama Kristen yang antara satu dengan lainnya sulit dikompromikan?
Menurut
Gunawan, Gus Dur melegalkan Konghucu sebagai agama di Indonesia karena
ingin mendorong orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen pindah ke
Konghucu. Ia mengatakan banyak orang Tionghoa Kristen pindah ke Konghucu
sejak dicabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Sebelum
menanggapi secara serius kenapa Gus Dur melegalkan agama Konghucu di
Indonesia, saya bertanya kepada Gunawan dari mana ia tahu banyak orang
Tionghoa pindah ke Konghucu. Ia menjawab bahwa dirinya adalah seorang
pendeta Kristen. Banyak anggota jemaatnya adalah orang-orang Tionghoa;
satu per satu mereka meninggalkan gerejanya meski tidak seluruhnya.
Setelah
itu saya mencoba menjelaskan bahwa tindakan Gus Dur Dur melegalkan
agama Konghucu di Indonesia tidak ada hubungannya dengan agama Kristen.
Menurut, saya apa yang dilakukannya adalah membela sisi kemanusiaan dari
orang-orang yang hak-hak kemanusiannya dihilangkan oleh kekuasaan
negara seperti yang terjadi pada Budi Wijaya dan Lanny Guito pada tahun
1996 di Surabaya. Saat itu keduanya menikah secara agama Konghucu, namun
pernikahannya ditolak Kantor Catatan Sipil Surabaya.
Agar
hal seperti itu tidak terjadi lagi, maka Gus Dur menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Instruksi Presiden
Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Sebagai seorang presiden sekaligus seorang ulama yang humanis, Gus Dur
tentu memiliki dasar yang tidak saja sesuai dengan undang-undang negara
tetapi juga dengan ajaran moral dalam melakukan hal tersebut.
Dari
sisi undang-undang negara, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina sebetulnya
bertentangan dengan UUD 1945, pasal 29, ayat 1 dan 2, di mana dijelaskan
bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Dari sisi ajaran moral, apa yang dilakukan
Gus Dur dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000
untuk mencabut instruksi presiden rezim Orde baru tersebut sesuai dengan
pesan moral sebagaimana terkandung di dalam Al-Qur’an, Surat At-Taubah,
ayat ke-6, yang berbunyi:
وَإِنْ
أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ
كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا
يَعْلَمُونَ .
Artinya:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Salah
satu pesan moral yang bisa diambil dari ayat itu adalah bahwa seorang
pemimpin seperti presiden harus bisa melindungi rakyatnya di tempat atau
dengan cara yang bisa memberi rasa aman baginya dan bukan rasa aman
menurut pemimpin itu.
Dalam hubungan dengan
kasus seperti yang menimpa Budi Wijaya dan Lanny Guito di Surabaya,
pelindungan yang bisa memberi rasa aman kepada mereka berdua dan
orang-orang Tionghoa lainnya adalah melegalkan Kong Hu Cu sebagai agama
di Indonesia sehingga perkawinannya legal tidak saja di mata negara
tetapi juga di mata masyarakat dimana mereka hidup bersama.
Meski
penjelasan tersebut belum atau bahkan tidak sepenuhnya memuaskan bagi
Pendeta Gunawan saat itu, tetapi hal itu cukup meredam emosinya yang
sebelumnya menujukkan wajah kurang ramahnya kepada saya.
#WaroengANQ
No comments:
Post a Comment